TAPANULIPOST.com – Kasus penipuan menggunakan situs web palsu tau scampage, kini semakin marak terjadi. Ada banyak tautan (link) situs yang menyerupai web resmi pemerintah disebarkan dengan modus mengadakan program berhadiah dan juga bantuan dari pemerintah, hingga lowongan pekerjaan.

Untuk itu, masyarakat diminta untuk selalu berhati-hati, dan jangan mudah tergiur berbagai program dan sampai mengisi data pribadi di laman website yang belum diketahui pasti kebenarannya.

Seperti kasus yang terjadi di Amerika Serikat. Data pribadi puluhan ribu warga negara AS dicuri, setelah mereka mengisi formulir di laman website yang disediakan pelaku kejahatan.

Ternyata, pelaku pencurian data pribadi warga AS itu adalah warga asal Indonesia. Dua pelaku penipuan digital (scammer) itu berhasil ditangkap oleh Tim Siber Ditreskrimus Polda Jawa Timur, yang bekerjasama dengan FBI.

Baca juga: Bupati Tapteng Tunjuk Plt Sekda dan Sejumlah Pimpinan OPD

Dengan menggunakan data warga AS tersebut, para pelaku berhasil mencuri dana bansos Covid-19 milik pemerintah Amerika Serikat, dengan jumlah fantastis hampir mencapai satu triliun rupiah.

Penipuan dilakukan dengan cara membuat situs bantuan sosial Covid-19 palsu yang serupa dengan situs resmi milik pemerintah AS, yang digunakan untuk mencuri data pribadi warga negara AS.

Kedua pelaku bernisial SFR dan MZMSBP bersekongkol memanfaatkan program Pandemic Unemployment Assistance (PUA), yaitu bantuan ekonomi dari pemerintah AS bagi warga yang menganggur karena pandemi.

Baca juga: Beredar Video Penampakan Perabotan di Rumdis Wali Kota, Ini Jawaban Pemko Sibolga

Kombes Farman, Direktur Reskrimsus Polda Jawa Timur mengatakan bahwa kedua tersangka sudah beroperasi sejak Mei 2020. Barulah di tanggal 1 Maret 2021, petugas Siber Distreskrimsus Polda Jatim memergoki aksi pelaku di Surabaya.

Polda Jatim menemukan skrip scampage di dalam laptop MZMSBP. Diketahui, MZMSBP merupakan pembuat situs web palsu dan SFR bertindak sebagai penyebar yang menggunakan software untuk mengirimkan SMS blast ke 20 juta warga negara AS.

Di SMS tersebut, terlampir tautan yang mengarah ke situs bantuan sosial Covid-19 palsu yang telah dibuat MZMSBP. Dari 20 juta SMS yang dikirim, sebanyak 30.000 warga negara AS merespons dengan mengisi formulir yang telah disediakan pelaku.

Baca juga: Kades Aek Pardomuan Berhasil Ungkap Kasus Penipuan Bermodus Judi Togel Setelah Pura-pura Jadi Bandar

Mereka juga melampirkan data diri mereka yang kemudian dikumpulkan oleh SFR. Data tersebut kemudian diserahkan SFR ke pelaku lain berinisial S yang saat ini masih berstatus DPO (daftar pencarian orang).

Dihimpun Tapanulipost.com dari situs resmi Polres Mojokerto, Minggu (18/4/2021), tersangka S yang kini tengah dalam pencarian diduga adalah warga negara India. Data diserahkan SFR ke S melalui WhatsApp dan Telegram.

Tersangka S menggunakan data pribadi warga negara AS tersebut untuk meminta bantuan ke pemerintah AS lewat program PUA.

Baca juga: DPRD Tapteng Pertanyakan Tangki Timbun BBM PT Indra Angkola

Menurut kebijakan program tersebut, setiap warga negara yang terdaftar berhak mendapatkan bantuan senilai 2.000 dollar AS atau sekitar Rp 30 juta (kurs Rp 14.600).

“Diperkirakan ada 60 juta dollar AS (sekitar Rp 875 miliar) yang sudah didapat. Uang dari pemerintah AS itu masuk ke terduga pelaku yang saat ini masih DPO,” jelas Kombes Farman kepada wartawan.

“Untuk dua orang yang sudah ditangkap, mendapatkan 30.000 dollar AS (sekitar Rp 437 juta) per bulan,” imbuh Farman.

Menurut Farman, MZMSBP memiliki kemampuan untuk membuat situs web palsu. Sementara satu pelaku lain, SFR, adalah lulusan salah satu SMK di Jawa Timur. Farman menambahkan bahwa kedua pelaku cukup sering terlibat dalam kasus penipuan serupa.

Polda Jatim melakukan penyelidikan selama tiga bulan dengan koordinasi ke Mabes Polri dan Biro Investigasi Federal (FBI) di AS.

Farman mengatakan Polda Jatim masih terus melakukan pendalaman dan berkomunikasi dengan FBI karena kasus ini menyangkut warga negara AS.

Baca juga: Rokok Senilai Rp 300 Jutaan Dibakar

“Kita masih lakukan kerjasama (dengan FBI) karena kita masih perlu melakukan penangkapan terhadap satu terduga pelaku yang saat ini masih DPO,” kata Farman.

Atas perbuatannya, kedua tersangka terancam dijerat dengan pasal 32 ayat (2) Jo pasal 48 ayat (2) UU RI nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik Jo pasal 55 ayat (1) KUHP,

Mereka menghadapi ancaman hukuman 9 tahun penjara dan/atau denda paling banyak Rp 3 miliar. (red)