TAPTENG, TAPANULIPOST.com – Pasangan suami istri di Kabupaten Tapanuli Tengah, Masri Hutabarat alias Neneng (56) dan istinya boru Simatupang memblokir jalan nasional Rampa – Poriaha yang sedang dikerjakan. Bahkan boru Simatupang sampai nekad tidur di badan jalan untuk menghalangi pengaspalan jalan, Sabtu (3/6) lalu.
Hal itu dilakukan Pasutri warga Desa Tapian Nauli III tersebut karena mereka mengklaim tanahnya belum diganti rugi.
Mereka menutup badan dengan kayu, sehingga membuat pekerjaan proyek pembangunan dan pengaspalan jalan menjadi terganggu.
Pihak pemerintah cq unsur musyawarah pimpinan kecamatan (Muspika) Tapian Nauli pun turun ke lokasi atas pemblokiran jalan yang dilakukan pasangan suami istri itu.
Namun upaya mediasi yang dikoordinir oleh Camat Tapian Nauli Rinaldi Siregar, pun gagal. Mereka berencana akan membicarakannya kembali dengan cara baik-baik, karena kedua pasutri tidak dapat menunjukkan/memperlihatkan surat tanah/sertifikat tanah yang dipersengketakan. Mereka hanya menyatakan bahwa tanah tersebut merupakan tanah warisan dari nenek moyang mereka.
Pihak PT Nusa Kontruksi Enggenering (NKE) selaku rekanan yang mengerjakan pembangunan dan pengaspalan jalan tersebut, terpaksa menunda pengerjaan.
Sesuai hasil mediasi yang dilakukan pada Minggu (4/6) kemarin, sekitar pukul 15.00WIB di Basecamp perusahaan, pihak PT NKE menyatakan belum dapat mengambil keputusan perihal permintaan kedua pasutri itu.
“Kami masih akan melaporkan permasalahan ini kepada pimpinan PT.NKE dan PU Nasional di Jakarta. Biarlah mereka nantinya di Jakarta yang menyelesaikannya dengan pihak keluarga Masra Hutabarat,” tutur Jantur Aritonang.
Sebelumnya Masri Hutabarat dan boru Simatupang, meminta ganti rugi agar anak mereka diluluskan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau uang sebesar Rp150 juta.
Saat mediasi hadir juga Komandan Rayon Militer (Danramil) Kolang, Mayor (Inf) Sahrudin, pihak perwakilan dari PT.NKE Jantur Aritonang, serta perwakilan dari pihak Balai Pelaksana Jalan dan Jembatan Nasional Propinsi Sumatera Utara (Sumut), Frans Nababan. (red)
Tinggalkan Balasan