TAPTENG, TAPANULIPOST.com – Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah (Pemkab Tapteng) melalui Satpol PP akan menertibkan kawasan objek wisata Mela, dengan membongkar semua bangunan warung yang berdiri di sepanjang Jalan Sibolga – Barus, Mela II, Kecamatan Tapian Nauli.
Warung yang berjejer mulai dari pantai Kutai hingga sebelumnya komplek perumahan Oswald Siahaan Lanal Sibolga, akan dibongkar habis.
Hal itu diutarakan Kasat Pol PP Tapteng, Jontriman Sitinjak kepada TAPANULIPOST.com, Selasa, 31 Juli 2018.
Jontriman Sitinjak menyebutkan, ada sekitar 15 warung tidak permanen dan semi permanen berada di kawasan itu, yang diminta untuk dibongkar pemiliknya.
“Ada 15 warung, 7 warung di pantai Kutai, dan 8 di pinggir jalan,” kata Jontriman merincikan jumlah warung yang akan dibongkar.
[irp posts=”4479″ name=”Satpol PP Tapteng Bongkar Warung di Kawasan Objek Wisata Mela”]
Jontriman menegaskan, sesuai perintah Bupati semua warung tersebut akan dibongkar dalam waktu dekat.
Pembongkaran itu dilakukan karena warung tersebut dinilai mengganggu pemandangan karena kawasan wisata selayaknya dibuat bebas pandang.
Selain itu, jelas Jontriman, pembongkaran dilakukan sesuai Perda Nomor 4 Tahun 2007 yang menyatakan, dilarang mendirikan bangunan pada lokasi objek wisata dan disepanjang pinggiran jalr perjalanan wisatawan sebelum mendapat izin dari Bupati.
Menurutnya, hingga kini pihaknya masih berupaya memberikan surat peringatan dan melakukan negosiasi terhadap para pemilik warung.
“Mau tidak mau, semua warung yang ada di pinggir jalan di kawasan objek wisata itu akan dibongkar. Bupati sudah perintahkan supaya secepatnya dibongkar semua,” ujarnya.
[irp posts=”4468″ name=”Nelayan Barus Dilaporkan Hilang, Perahunya Terdampar di Mulut Muara”]
Dijelaskannya, seluruh warung yang berada di pantai Kutai akan dibongkar habis. Namun pedagang yang ada disana akan tetap diperbolehkan berjualan dengan menggunakan tenda-tenda payung.
“Jadi objek wisata pantai Kutai akan ditata dengan baik supaya bagus dan indah. Saat ini Pak Bupati sedang menggalakkan sektor pariwisata kita,” jelasnya.
Jontriman mengungkapkan, saat melakukan penertiban kawasan objek wisata itu mereka mendapat perlawanan dari pemilik warung. Bahkan ada warga yang mengaku tanah yang ditempatinya memiliki sertifikat hak milik yang diterbitkan BPN pada Tahun 1998. Tanah dengan luas sekitar lebih kurang 1400 meter itu milik seorang warga Tionghoa.
“Ada yang sudah bersertifikat, makanya kita heran kenapa bisa terbit sertifikat diatas laut,” ucap Jontriman. (red)
Tinggalkan Balasan